Wednesday, July 25, 2007

CEDERA CORD SPINAL


CEDERA CORD SPINAL
     
___________________________________

ETIOLOGI
Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal
mana cukup kuat untuk merusak kord spinal serta kauda
ekuina. Dibidang olah-raga, tersering karena menyelam
pada air yang sangat dangkal
.


KLASIFIKASI
Sebelum membicarakan macam-macam cedera tulang belakang
serta kord spinal secara khusus, akan dibicarakan dulu
secara garis besar. Harus diingat bahwa cedera tulang
belakang mempunyai komponen tulang dan komponen saraf
hingga pengelolaan akan ditentukan oleh faktor-faktor
dari kedua aspek tersebut.


A. CEDERA TULANG


a. Stabil
Cedera yang stabil adalah bila fragmen tulang tidak
mempunyai kemampuan untuk bergeser lebih jauh selain
yang terjadi pada saat cedera. Komponen arkus neural
intak, serta ligamen yang menghubungkan ruas tulang
belakang, terutama ligamen longitudinal posterior,
tidak robek. Cedera stabil diakibatkan oleh tenaga
fleksi, ekstensi dan kompresi yang sederhana terhadap
kolumna tulang belakang dan tersering tampak pada
daerah toraks bawah serta lumbar. Fraktura baji badan
ruas tulang belakang yang diakibatkan oleh fleksi akut
pada tulang belakang adalah contoh yang umum dari
fraktura stabil.

b. Tak stabil
Fraktura mempunyai kemampuan untuk bergerak lebih
jauh. Kelainan ini disebabkan oleh adanya elemen rotari
terhadap cedera fleksi atau ekstensi yang cukup untuk
merobek ligamen longitudinal posterior serta merusak
keutuhan arkus neural, baik akibat fraktura pada
pedikel dan lamina, maupun oleh dislokasi sendi
apofiseal.


B. CEDERA NEUROLOGIS

a. Tanpa defisit neurologis
Pemeriksaan klinis tak menunjukkan adanya kelainan
neurologis.

b. Dengan defisit neurologis
Kerusakan neurologis yang terjadi saat kecelakaan dapat
lengkap dengan hilangnya fungsi dibawah tingkat cedera
atau tidak lengkap. Defisit neurologis paling mungkin
terjadi setelah cedera pada daerah punggung karena
kanal spinal tersempit didaerah ini. Adanya spondilosis
servikal memperberat kerusakan neurologis bahkan karena
cedera minor sekalipun pada orang tua. Ancaman terhadap
leher juga bertambah karena artritis rematoid.
Harus selalu diingat bahwa tulang belakang toraks
adalah daerah utama terjadinya fraktura patologis
karena proses metastatik.


TEMUAN KLINIS

Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasus
dimana setelah cedera pasien mengeluh nyeri serta
terbatasnya pergerakan leher dan pinggang. Deformitas
klinis mungkin tidak jelas dan kerusakan neurologis
mungkin tidak tampak pada pasien yang juga mengalami
cedera kepala atau cedera berganda. Tidak lengkap
pemeriksaan pada suatu cedera bila fungsi anggota gerak
belum dinilai untuk menyingkirkan kerusakan akibat
cedera tulang belakang.


PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Karena alasan diatas, perlu dilakukan pemeriksaan
radiografi tulang belakang servikal pada semua pasien
cedera kepala sedang dan berat. Radiograf yang diambil
di UGD kualitasnya tidak selalu baik dan bila tetap
diduga adanya cedera tulang belakang, radiograf
selanjutnya diambil lagi termasuk tampilan oblik bila
perlu, serta (pada daerah servikal) dengan leher pada
fleksi serta ekstensi bila diindikasikan. Tampilan
melalui mulut terbuka perlu untuk memperlihatkan proses
odontoid pada bidang antero-posterior.


PENGELOLAAN

Sasaran terapi adalah mempertahankan fungsi neurologis
yang masih ada, memaksimalkan pemulihan neurologis,
tindakan atas cedera lain yang menyertai, dan mencegah
serta mengobati komplikasi serta sekuele kerusakan
neural. Reduksi atas subluksasi untuk mendekompres kord
spinal dan tindakan immobilisasi tulang belakang untuk
melindungi kord spinal adalah merupakan dasar dari
tindakan.
Operasi lebih awal diindikasikan untuk dekompresi
neural, fiksasi internal, atau debridemen luka terbuka.
Pasien dengan kelainan patologis kompresif dan defisit
neurologis tidak lengkap atau dengan defisit neurologis
progresif adalah kandidat operasi dekompresi gawat
darurat. Fiksasi internal elektif dilakukan pada pasien
dengan ketidakstabilan tulang belakang, cedera ligamen
tanpa fraktura, deformitas tulang belakang progresif,
cedera yang tak dapat direduksi, fraktur yang nonunion.
Mediator sekunder dari cedera adalah perubahan
metabolik serta patofisiologik yang berperan terhadap
progresi dari respons cedera kord spinal setelah cedera
primer atau mekanikal. Cedera jaringan menyebabkan
perubahan biokimia, seluler, serta perubahan jaringan
yang akan menimbulkan iskemia jaringan. Iskemia dan
infarksi kord spinal pasca cedera adalah mekanisme
kunci. Iskemia pasca cedera mempunyai efek lokal dan
sistemik. Secara sistemik terjadi pengurangan curah
jantung, hipotensi dan vasodilatasi simpatetik. Secara
lokal, autoregulasi dapat hilang serta mikrosirkulasi
pada dan sekitar segmen kord spinal yang cedera bisa
berkurang. Efek vaskuler pasca cedera harus ditindak
untuk mengoptimalkan pemulihan. Ekspansi volume dan
vaso-presor digunakan untuk memperbaiki keadaan normo-
tensif. Aliran darah kord spinal dapat diperbaiki
dengan cara ekspansi volume, steroid, nimodipin, atau
dopamin. Dosis tinggi metilprednisolon (bolus 30mg/kg
diikuti 5.4mg/kg/jam untuk 23 jam berikutnya) yang bila
diberikan dalam 8 jam sejak cedera akan memperbaiki
pemulihan neurologis. Gangliosida mungkin juga akan
memperbaiki pemulihan setelah cedera kord spinal.
Penilaian keadaan neurologis setiap jam termasuk
pengamatan fungsi sensori, motori dan refleks penting
untuk melacak defisit yang progresif atau asenden.
Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat, fungsi
ventilasi dan melacak keadaan dekompensasi merupakan
hal yang vital.

1. Cedera stabil tanpa defisit neurologis
Pada kelompok ini diantaranya angulasi atau baji dari
badan ruas tulang belakang, fraktura proses transversus
dan spinosus, dll. Tindakannya simtomatik, seperti
istirahat baring hingga nyeri berkurang, kemudian
mobilisasi bertahap dengan fisioterapi untuk memulihkan
kekuatan otot.

2. Fraktura tak stabil tanpa defisit neurologis
Bila terjadi pergeseran, fraktura memerlukan reduksi,
dan posisi yang sudah lebih baik harus dipertahankan.

Metoda reduksi antaranya:
a. Traksi
Fraktura servikal paling tak stabil dapat direduksi
dengan memuaskan dengan melakukan traksi pada tulang
belakang servikal memakai sepit (tong) metal (seperti
tong Gardner-Well atau Crutchfield) yang dipasang pada
tengkorak. Beban sekitar 20 kg (tergantung tingkat ruas
tulang belakang, mulai sekitar 2.5 kg pada fraktura C1)
digunakan dalam mengusahakan reduksi.
b. Manipulasi
Dislokasi serta locking dari faset sendi apofiseal
servikal mungkin menghambat reduksi fraktura bila hanya
semata dengan traksi. Manipulasi hati-hati leher dalam
anestesi umum dapat membebaskan faset.
c. Reduksi terbuka
Kadang-kadang terhadap faset pada daerah servikal dan
toraks diperlukan operasi untuk mengembalikan alignment
normalnya.

Metoda immobilisasi setelahnya adalah:
a. Ranjang khusus, rangka, atau selubung plester dengan
pasien dapat dirawat untuk waktu yang lama dengan
mempertahankan posisi yang telah direduksi bahkan saat
membalik untuk memandikan atau merawat kulit.
b. Traksi tengkorak. Hanya diperlukan beban sedang
untuk mempertahankan cedera leher yang sudah direduksi.
c. Plester paris dan splin eksternal lain. Pasien
dengan cedera servikal nyatanya dapat dimobilisasi
dengan leher disangga dengan plester paris dalam posisi
memadai atau dengan splin metal yang dirancang agar
kepala tetap immobil disaat pergerakan tubuh.
d. Operasi. Fusi secara bedah melintas garis fraktur
dapat dilakukan. Pada tulang belakang servikal operasi
dilakukan baik dari depan maupun belakang. Pada daerah
toraks tulang belakang difiksasi dengan pelat metal dan
tandur tulang yang menyatukan lamina dengan proses
spinosus berdekatan.

3. Cedera stabil dengan defisit neurologis
Bila fraktura stabil, kerusakan neurologis diakibatkan
oleh:

a. Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera
menyebabkan trauma langsung terhadap kord spinal atau
kerusakan vaskuler, namun dengan bagian tulang dalam
konfigurasi yang lebih normal.
b. Tulang belakang sebelumnya sudah rusak akibat
penyakit sebelumnya seperti pada spondilosis servikal.
c. Fragmen tulang atau diskus terdorong kekanal spinal.

Pengelolaan kelompok ini tergantung derajat kerusakan
neurologis yang tampak pada saat pertama diperiksa.
Suatu transeksi neurologis lengkap, terbaik dirawat
konservatif. Pada cedera didaerah servikal, leher
diimmobilisasi dengan kolar atau sepit (kaliper) dan
pasien diberi metil prednisolon. Pemeriksaan lebih
lanjut seperti mielografi atau MRI harus dilakukan bila
pemeriksaan menunjukkan adanya potensi akan perbaikan
neurologis. Kesempatan perbaikan pada pasien dengan
defisit total disaat diperiksa adalah kecil dan semakin
jauh bila tidak ada perbaikan dalam 48 jam.
Pada cedera neurologis tak lengkap pasien juga
mulanya dirawat konservatif. Bila kerusakan didasari
adanya spondilosis servikal, traksi tengkorak digunakan
disamping pemberian metil prednisolon. Perkiraan atas
kerusakan dilakukan dan bila perbaikan terjadi dengan
memuaskan, tidak ada lagi tindakan lain yang diperlukan
kecuali bila spondilosis yang sudah ada sebelumnya
memerlukan tindakan bedah. Bila tidak ada perbaikan
atau ada perbaikan namun diikuti perburukan, dilakukan
mielografi untuk menampilkan daerah fraktura yang akan
didekompresi. Dengan kata lain, tindakan konservatif
memungkinkan kord spinal yang rusak memperlihatkan
potensinya untuk membaik dan tindakan bedah dilakukan
pada saat risiko pertambahan defisit neurologis sudah
dikurangi.

4. Cedera tulang tak stabil dengan defisit neurologis
Bila lesinya total, dilakukan reduksi yang diikuti
dengan immobilisasi seperti halnya pada seksi 2 dengan
tambahan perawatan paraplegik. Bila defisit neurologis
tak lengkap, reduksi dan diikuti immobilisasi sesuai
dengan jenis cederanya, dan bila diperlukan operasi,
dekompresi kanal spinal dilakukan pada saat yang sama.
Setelah setiap tindakan, kebijaksanaan konservativ
seperti pada seksi 3 dapat diteruskan karena fraktura
sekarang telah berubah dari tak stabil menjadi stabil.


CEDERA YANG MENYERTAI DAN KOMPLIKASI CEDERA KORD SPINAL

Efek dari cedera kord spinal akut mungkin mengaburkan
penilaian atas cedera lain dan mungkin juga merubah
respon terhadap terapi. 60% lebih pasien dengan cedera
kord spinal bersamaan dengan cedera major: kepala atau
otak, toraks, abdominal, atau vaskuler. Berat serta
jangkauan cedera penyerta yang berpotensi didapat dari
penilaian primer yang sangat teliti dan penilaian ulang
yang sistematik terhadap pasien setelah cedera kord
spinal. Dua penyebab kematian utama setelah cedera kord
spinal adalah aspirasi dan syok.


Pengelolaan Hemodinamik
Bila pasien hipotensif, cari sumber perdarahannya dan
atasi. Syok neurogenik mungkin tertutupi oleh syok
hemoragik.
Syok neurogenik disebabkan oleh hilangnya aliran
adrenergik dari sistema saraf simpatetik pada jantung
dan vaskulatur perifer setelah cedera diatas tingkat
T6. Terjadi hipotensi, bradikardia, dan hipotermi. Syok
neurogenik akan lebih mengganggu distribusi volume
intravaskuler dari pada menyebabkan hipovolemi sejati.
Atropin, dopamin, atau fenilefrin harus dipertimbangkan
untuk mengobati syok neurogenik, yang tak berreaksi
atas penggantian volume intravaskuler.
Syok spinal berbeda dari sindroma fisiologik syok
neurogenik. Syok spinal menunjukkan kehilangan lengkap
aktifitas motori, sensori dan refleks segmental dengan
flaksiditas dibawah tingkat cedera. Keadaan ini mungkin
berakhir setelah 6 minggu. Bila syok spinal bertahan
lebih dari 24 jam, prognosis untuk ambulasi betul-betul
tidak ada. Akhir dari syok spinal akan ditunjukkan oleh
kembalinya refleks spinal, namun fenomena ini belum
dimengerti.
Selama fase akut setelah cedera, beberapa jalur
intravena perifer ukuran besar (no. 16) dan pengamat
tekanan darah melalui jalur arteri dipasang, dan
resusitasi air dimulai. Bila pasiennya hipotensif dan
tak berreaksi atas cairan atau produk darah intravena,
kateterisasi pada arteri pulmoner merupakan pembantu
diagnostik untuk membimbing manipulasi terapeutik dan
untuk membedakan antara mekanisme hipovolemik, kardio-
genik dan neurogenik.


Pengelolaan Respiratori
Disfungsi respirasi bisa terjadi karena kegagalan
ventilatori akibat hilangnya fungsi neural dengan
paralisis muskulatur toraks. Mungkin juga karena atau
eksaserbasi dari beberapa faktor parenkhimal. Tindakan
terhadap kelainan patologi dan pencegahan terhadap
kelainan pulmoner sekunder atau didapat sangat penting.
Pembalikan tubuh berulang, perangsangan batuk,
pernafasan dalam, spirometri insentif, dan pernafasan
bertekanan positif yang sinambung dengan masker adalah
cara mempertahankan ekspansi paru-paru atau kapasitas
residual fungsional. Tekanan pernafasan positif yang
sinambung dengan masker merupakan cara optimal untuk
mempertahankan kapasitas residual fungsional pada
pasien yang tidak diintubasi. Cara ini digunakan dalam
usaha mencegah pamakaian ventilasi mekanik.
Pasien dengan saraf frenik intak (C3,4,5) dengan
trauma kord spinal servikal tengah atau toraks mungkin
semula tampil dengan gas darah normal dan memburuk atau
mengalami dekompensata secara akut dengan kegagalan
pernafasan. Hilangnya inervasi otot pernafasan aksesori
dan otot interkostal menimbulkan gangguan pengembangan
toraks dan menyebabkan atelektasis progresif. Dada
fungsinya menjadi inkompeten dan kurang compliant.
Gangguan fungsi ventilatori, sekret, dan infeksi
bronkhopulmoner, serta keadaan lain yang menyebabkan
eksaserbasi insufisiensi respirasi haruslah ditindak
efektif. Trakheostomi dilakukan bila pasien tak mungkin
dilepaskan dari ventilator. Umumnya bila ventilasi
diperlukan, lebih dari dua minggu.


Pengelolaan Nutrisional dan Gastrointestinal
Pasien dengan cedera kord spinal lengkap dan akut harus
mendapatkan pemeriksaan CT scan abdomen atau lavasi
peritoneal bila diduga ada perdarahan atau cedera
abdominal. Tanda dan gejala cedera abdominal mungkin
tidak ada pada cedera kord spinal akibat hilangnya
sensasi.
Cedera kord spinal akut, terutama pada daerah
toraks dan lumbar biasanya dengan ileus akibat efek
mekanik langsung atau hilangnya fungsi neural otonom.
Ileusnya harus ditindak dengan suction nasogastrik,
penggantian elektrolit, dan pengamatan status cairan.
Walau paralisis, pasien dengan cedera kord spinal
jelas dengan peningkatan tingkat metabolisme (50-100%
diatas normal) dan segera menjadi katabolik. Dianjurkan
terapi nutrisional dini. Pemberian dukungan nutrisi
dalam 24 jam sejak cedera menunjukkan pengurangan
infeksi, trombosis vena dalam, dan komplikasi katabolik.
Pemberian makanan oral atau alimentasi enteral
lebih disukai. Selang duodenal yang fleksibel dipasang
dengan bantuan fluoroskopi bila diperkirakan perlu
hiperalimentasi enteral elemental. Pasien dengan ileus
atau tidak mampu mentolerasi makanan enteral harus
segera mendapatkan hiperalimentasi parenteral total
(TPN). Pencegahan ulkus biasanya dengan antihistamin
(simetidin, ranitidin) atau antasid.
Pengosongan lambung yang terlambat sesudah cedera
mungkin menyebabkan pneumonia aspirasi bila pasien
mendapatkan gastric feeding. Penggunaan duodenal
feeding
mencegah aspirasi. Penambahan zat warna akan
melacak adanya aspirasi atau refluks.
Cairan makanan hipertonik, penurunan absorpsi
intestinal, atau keduanya, dapat menyebabkan diare pada
pasien dengan makanan enteral. Keadaan ini diatasi
dengan mencoba berbagai konsentrasi formula atau dengan
menambahkan difenoksilat hidrokhlorida dengan atropin
sulfat (Lomotil) atau obat sejenis.
Kehilangan fungsi sfingter anal ditindak bila
ileus dan syok spinal berlalu. Pemberian supositoria
bisakodil (Dulcolax) dengan dilatasi manual rektal
memberikan rangsangan untuk kontraksi uniform untuk
pengosongan "volitional".


Gangguan Koagulasi
Koagulopati intravaskuler diseminata jarang terjadi
pada cedera kord spinal terbatas, bila dibandingkan
dengan cedera kepala berat. Namun pasien paralisis
mempunyai risiko besar atas terjadinya trombosis vena
dalam dan emboli paru-paru.
Heparin dosis mini (5000 U subkutan, 2-3 kali
sehari), ranjang yang berosilasi, ekspansi volume,
stoking elastik setinggi paha, stoking pneumatik anti
emboli, antiplatelet serta anti koagulasi dianjurkan
untuk pencegahan, namun belum ada cara yang superior.


Pengelolaan Genitourinari
Setelah cedera, kandung kemih menjadi atonik secara
akut. Kateter Foley yang indwelling harus sejak semula
digunakan untuk mengamati output cairan dan untuk
mencegah distensi kandung kemih. Kateterisasi berkala
kandung kemih dimulai setelah keadaan medikal pasien
stabil dan dilakukan untuk mempertahankan volume
kandung kencing dibawah 400ml. Kateterisasi intermiten
dan bersih mengurangi risiko sistitis dan pielonefritis
pada pasien dengan kandung kemih neurogenik. Antibiotik
profilaktik tidak dianjurkan, namun infeksi spesifik
harus segera diobati.


Ulkus Dekubitus
Segera terbentuk pada pasien paralisis akibat tekanan
langsung pada dermal, kurangnya perfusi jaringan, dan
kurangnya mobilitas. Busa atau kulit kambing penyangga
tonjolan tulang, pemutaran tubuh berulang, perawatan
kulit yang baik, dan ranjang berosilasi atau udara,
dapat membantu pencegahan ulkus dekubitus. Pencegahan
komplikasi kulit adalah sangat penting.


Pengelolaan Pasien Paraplegik

Penderita cacad paraplegik terbukti banyak yang dapat
kembali aktif dan gembira sebagai anggota masyarakat,
berperanan dirumah, dilingkungan serta dipekerjaan.
Perawatan dikelompokkan kedalam:

1. Respirasi. Peran utama saraf frenik adalah pada
tingkat C4 dan cedera servikal tengah dapat berpengaruh
pada fungsi diafragma baik pada satu maupun kedua sisi.
Defisit yang ditimbulkannya bisa temporer atau menetap.
Pada tahap awal pasien mungkin memerlukan ventilasi dan
tube endotrakheal yang dipasang sebagai tindakan gawat
darurat harus diganti dengan trakheostomi sesegera
mungkin. Sebagai tambahan pada pernafasan artifisial
adalah kemungkinan aspirasi yang efisien terhadap
sekresi paru-paru dan mencegah terjadinya bronkho-
pneumonia. Perbaikan keadaan neurologis memungkinkan
pasien untuk dilepas dari ventilator untuk selanjutnya
menutup trakheostomi.

2. Kulit. Kulit yang anestetik pada pasien paraplegik
menyebabkan sakrum, trokhanter major dan tumit cepat
menjadi merah dan ulserasi bila perawatan terlantar.
Pikirkan bahwa semua bed sores dapat dicegah bila tidak
ada defek intrinsik pada kulit yang akan menjadi sumber
luka. Pasien harus dibalik setiap dua jam dan apapun
cara yang digunakan untuk mengimmobilisasi pasien pada
fraktura tak stabil, harus tetap efektif saat merubah
posisi.

3. Kandung kemih. Cedera akut kord spinal mengakibatkan
periode syok spinal yang berakhir dalam beberapa hari
hingga beberapa minggu, disaat mana aktifitas semua
refleks dibawah tingkat lesi akan menghilang. Kandung
kencing berekspansi tanpa disertai adanya nyeri dengan
tiadanya refleks untuk mengosongkannya hingga terjadi
inkontinensia overflow dan dribbling. Bila syok spinal
berlalu, aktifitas refleks pulih dan sebagian usaha
untuk mengosongkan kandung kemih dimulai. Bila kauda
ekuina mengalami transeksi, maka tidak ada harapan
pengosongan secara refleks karena muskulatur kandung
kemih terputus dari pusat refleks dikord spinal bawah.
Harapan diberikan pada sebagian aktifitas otot detrusor
intrinsik, digabung dengan kompresi manual yang akan
mengosongkan kandung kemih secara lengkap dan teratur.
Sasaran semua cara perawatan dini kandung kemih
pada pasien paraplegik adalah agar pasien dengan jalur
kencing yang steril mampu mengosongkan kandung kencing
secara sempurna pada selang waktu yang sesuai tanpa
adanya stasis atau retensi air kencing yang mungkin
akan menimbulkan hidronefrosis atau pielonefritis.
Ada dua cara selain yang dijelaskan diatas untuk
pengelolaan dini pada kandung kencing paraplegik:
a. Kateterisasi intermiten dilakukan dalam cara steril
menggunakan teknik aseptik (sering oleh dokter) tiga
kali sehari hingga refleks atau pengosongan manual yang
efektif dapat dicapai.
b. Kateter indwelling kecil dan non iritan dipasang dan
sistem tertutup penampungan kencing secara sinambung
atau berkala dilakukan hingga risiko infeksi asenden
dapat ditekan.
Tindakan bedah kemudian atas leher kandung kencing
serta sfingter eksternal mungkin diperlukan untuk
mendapatkan pengosongan yang efektif. Bila ternyata
tidak mungkin didapat dengan cara ini, mungkin perlu
untuk melakukan cara lain untuk mengalirkan dan
menampung air kencing seperti ureterostomi atau aliran
keileal.

4. Berak. Sasaran untuk mendapatkan pengosongan rektum
teratur dan terperkirakan tanpa inkontinensia atau
mendadak. Ini memerlukan tambahan diet dengan sejumlah
serat serta penggunaan laksatif, suppositori dan enema
reguler.

5. Anggota gerak. Penting bahwa anggota yang paralisa
harus secara teratur mendapatkan pergerakan pasif untuk
mencegah kekakuan sendi. Kontraktur yang disebabkan
perbedaan spastisitas kelompok otot berlawanan harus
dicegah dengan latihan sesuai, medikasi, akhirnya
pemisahan tendo tertentu.

6. Nutrisi umum. Perlu mempertahankan masukan berkalori
tinggi untuk mencoba dan menekan akibat dari keadaan
katabolik yang tak dapat dielakkan yang terjadi pada
pasien bersangkutan pada masa segera setelah cedera.


Rehabilitasi Pasien Paraplegik
Rehabilitasi dan mempersiapkan pasien untuk mandiri
harus dimulai segera setelah pengelolaan frakturanya
memungkinkan. Keberhasilan rehabilitasi ditentukan oleh
ambisi mental dan fisiknya ketingkat kenyataan tanpa
kehilangan rasa kepercayaan diri dan kehormatannya.

1. Rehabilitasi fisik
Meningkatkan penggunaan kelompok otot yang berfungsi:
a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang
masih aktif pada lengan atas dan batang tubuh.
b. Pembiasaan terhadap alat dan perangkat rumah tangga
hingga mereka dapat memanipulasinya dengan cara-cara
tertentu.
c. Perlengkapan splint dan kaliper.
d. Transplantasi tendon.

Perbaikan mobilitas:
a. Latihan dengan kaliper dan kruk untuk pasien cedera
tulang belakang bawah.
b. Latihan kursi roda untuk pasien dengan otot tulang
belakang dan tungkai tak berfungsi.
c. Kendaraan khusus untuk dijalan raya.

2. Rehabilitasi psikologis
Pertama dimulai agar pasien segera menerima ketidak-
mampuannya dan merancang kembali keinginan dan rencana.
Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri
datang dari ketidakpastian finansial, sosial serta
seksual yang semuanya memerlukan semangat, hal-hal yang
menjamin dan bantuan.

3. Penerimaan dirumah
Pelebaran pintu, pengadaan ram dan bahkan perancangan
kembali rumah agar memudahkan pasien dengan kursi roda.
Perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan
dapur hingga menghilangkan ketergantunag pada orang
lain.

4. Latihan untuk pekerjaan
Pasien yang bekerjanya duduk mungkin hanya memerlukan
sedikit pengaturan. Yang bekerja dengan mobilitas yang
lebih tinggi atau kerja fisik harus dilatih dalam
keterampilan baru dan didaftarkan sebagai orang cacad
hingga dapat kembali kepekerjaan bermanfaat.

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GAGAL NAPAS

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GAGAL NAFAS

I. PENGERTIAN

Gagal nafas adalah kegagalan system pernafasan untuk mempertahankan pertukaran O2 dan CO2 dalam tubuh yang dapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (Heri Rokhaeni, dkk, 2001)

Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran O2 terhadap CO2 dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi O2 dan pembentukan CO2 dalam sel-sel tubuh sehingga menyebabkan PO2 <>2 > 45 mmHg (hiperkapnia) (Smeltzer, C Susane, 2001)

II. ETIOLOGI

  1. Kerusakan atau depresi pada system saraf pengontrol pernafasan

Ø Luka di kepala

Ø Perdarahan / trombus di serebral

Ø Obat yang menekan pernafasan

  1. Gangguan muskular yang disebabkan

Ø Tetanus

Ø Obat-obatan

  1. Kelainan neurologis primer

Penyakit pada saraf seperti medula spinalis, otot-otot pernafasan atau pertemuan neuromuskular yang terjadi pada pernafasa sehingga mempengaruhi ventilasi.

  1. Efusi pleura, hemathorak, pneumothorak

Kondisi ini dapat mengganggu dalam ekspansi paru

  1. Trauma

Kecelakakan yang mengakibatkan cedera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan hidung, mulut dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas dan depresi pernafasan

  1. Penyakit akut paru

Pneumonia yang disebabkan bakteri dan virus, asma bronchiale, atelektasis, embolisme paru dan edema paru

III. PATHWAYS


IV. TANDA DAN GEJALA

Tanda

a. Gagal nafas total

Ø Aliran udara di mulut, hidung tidak terdengar / dirasakan

Ø Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikula dan sela iga serta tidak ada pengemabngan dada pada inspirasi

b. Gagal nafas partial

Ø Terdengar suara nafas tambahan gargling, snoring, growing dan wheezing

Ø Ada retraksi dada

Gejala

Ø Hiperkapnia yaitu peningkatan kadar CO2 dalam tubuh lebih dari 45 mmHg

Ø Hipoksemia terjadi takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis atau PO2 menurun

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. BGA

Hipopksemia

Ø Ringan : PaO2 <>

Ø Sedang : PaO2 <>

Ø Berat : paO2 <>

b. Pemeriksaan rontgen dada

Untuk melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak diketahui

c. Hemodinamik: tipe I terjadi peningkatan PCWP

d. EKG

Ø Memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan

Ø Disritmia

VI. PENGKAJIAN

a. Airway

Ø Terdapat secret di jalan nafas (sumbatan jalan nafas)

Ø Bunyi nafas krekels, ronchi, dan wheezing

b. Breathing

Ø Distress pernafasan: pernafasan cuping hidung, takhipnea / bradipnea

Ø Menggunakan otot asesoris pernafasan

Ø Kesulitan bernafas: lapar udara, diaforesis, dan sianoasis

Ø Pernafasan memakai alat Bantu nafas

c. Circulation

Ø Penurunan curah jantung, gelisah, letargi, takikardi

Ø Sakit kepala

Ø Gangguan tingkat kesadaran: gelisah, mengantuk, gangguan mental (ansietas, cemas)

VII. PENATALAKSANAAN MEDIS

a. Terapi oksigen: pemberian oksigen rendah nasal atau masker

b. Ventilator mekanik dengan memberikan tekanan positif kontinu

c. Inhalasi nebulizer

d. Fisioterapi dada

e. Pemantauan hemodinamik / jantung

f. Pengobatan: bronkodilator, steroid

g. Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan

VIII. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sumbatan jalan nafas dan kurangnya ventilasi sekunder terhadap retensi lendir

Tujuan: jalan nafas efektif

Kriteria hasil:

Ø Bunyi nafas bersih

Ø Secret berkurang atau hilang

Intervensi:

Ø Catat karakteristik bunyi nafas

Ø Catat karakteristik batuk, produksi dan sputum

Ø Monitor status hidrasi untuk mencegah sekresi kental

Ø Berikan humidifikasi pada jalan nafas

Ø Pertahankan posisi tubuh / kepala dan gunakan ventilator sesuai kebutuhan

Ø Observasi perubahan pola nafas dan upaya bernafas

Ø Berikan lavase cairan garam faaal sesuai indiaksi untuk membuang skresi yang lengket

Ø Berikan O2 sesuai kebutuhan tubuh

Ø Berikan fisioterapi dada

Ø Berikan bronkodilator

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan akumulasi protein dan cairan dalam interstitial / area alveolar, hipoventilasi alveolar, kehilangan surfaktan

Tujuan; pertukaran gas adekuat

Criteria hasil:

Ø Perbaikan oksigenasi adekuat: akral hangat, peningkatan kesadaran

Ø BGA dalam batas normal

Ø Bebas distres pernafasan

Intervensi:

Ø Kaji status pernafasan

Ø Kaji penyebab adanya penurunan PaO2 atau yang menimbulkan ketidaknyaman dalam pernafasan

Ø Catat adanya sianosis

Ø Observasi kecenderungan hipoksia dan hiperkapnia

Ø Berikan oksigen sesuai kebutuhan

Ø Berikan bantuan nafas dengan ventilator mekanik

Ø Kaji seri foto dada

Ø Awasi BGA / saturasi oksigen (SaO2)

c. Resiko cidera berhubungan dengan penggunaan ventilasi mekanik

Tujuan: klien bebas dari cidera selama ventilasi mekanik

Intervensi:

Ø Monitor ventilator terhadap peningkatan tajam pada ukuran tekanan

Ø Observasi tanda dan gejala barotrauma

Ø Posisikan selang ventilator untuk mencegah penarikan selang endotrakeal

Ø Kaji panjang selang ET dan catat panjang tiap shift

Ø Berikan antasida dan beta bloker lambung sesuai indikasi

Ø Berikan sedasi bila perlu

Ø Monitor terhadap distensi abdomen

d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemasangan selang ET dengan kondisi lemah

Tujuan: klien tidak mengalami infeksi nosokomial

Intervensi:

Ø Evaluasi warna, jumlah, konsistensi sputum tiap penghisapan

Ø Tampung specimen untuk kultur dan sensitivitas sesuai indikasi

Ø Pertahanakan teknik steril bila melakukan penghisapan

Ø Ganti sirkuit ventilator tiap 72 jam

Ø Lakukan pembersihan oral tiap shift

Ø Monitor tanda vital terhadap infeksi

Ø Alirkan air hangat dalam selang ventilator dengan cara eksternal keluar dari jalan nafas dan reservoir humidifier

Ø Pakai sarung tangan steril tiap melakukan tindakan / cuci tangan prinsip steril

Ø Pantau keadaan umum

Ø Pantau hasil pemeriksaan laborat untuk kultur dan sensitivitas

Ø Pantau pemberian antibiotik

e. Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan kondisi tubuh tidak mampu makan peroral

Tujuan: klien dapat mempertahankan pemenuhan nutrisi tubuh

Intervensi:

Ø Kaji status gizi klien

Ø Kaji bising usus

Ø Hitung kebutuhan gizi tubuh atau kolaborasi tim gizi

Ø Pertahankan asupan kalori dengan makan per sonde atau nutrisi perenteral sesuai indikasi

Ø Periksa laborat darah rutin dan protein

DAFTAR PUSTAKA

1. Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC; 2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)

2. Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa,I.M, Jakarta: EGC; 1999 (Buku asli diterbitkan tahun 1993

3. Hudak, Carolyn M, Gallo, Barbara M., Critical Care Nursing: A Holistik Approach (Keperawatan kritis: pendekatan holistik). Alih bahasa: Allenidekania, Betty Susanto, Teresa, Yasmin Asih. Edisi VI, Vol: 2. Jakarta: EGC;1997

4. Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease processes. 4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 1994 (Buku asli diterbitkan tahun 1992)

5. Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Medical – surgical nursing. Alih bahasa : Setyono, J. Jakarta: Salemba Medika; 2001(Buku asli diterbitkan tahun 1999)

6. Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong, Buku-ajar Ilmu Bedah. Ed: revisi. Jakarta: EGC, 1998

7. Suyono, S, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN S DENGAN GAGAL NAFAS

DI RUANG ICU RUMAH SAKIT

I. PENGKAJIAN

Pengkajian dilakukan pada hari tanggal

  1. Identitas Klien

Nama : Tn. S

Umur : 77 tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Pensiunan PNS

Alamat :

Tanggal Masuk: 14 Juni 2005 jam 14.45 WIB

DX Medis : Gagal Nafas, PSA/SH, Sepsis, MRSA

No Register : 5103659

  1. Riwayat Keperawatan

1. Keluhan Utama: klien tidak sadar

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Sebelum masuk RS klien terjatuh terpeleset di kamar mandi terus tidak sadar, setelah beberapa jam klien mengalami demam, nafas sesak kemudian dibawa ke RSDK lewat IGD. Di IGD diberikan tindakan pasang ET, periksa darah lengkap, pasang infuse, kemudian dirawat di ICU sampai pengkajian dilakukan

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit jantung sudah 5 tahun

Riwayat Parkinson sudah 2 tahun

Riwayat Hemiparese sudah 2 tahun

  1. Pengkajian Primer

1. Airways

Jalan nafas secret kental produktif, ada reflek batuk bila dilakukan isap lendir

2. Breathing

Memakai ET no 7,5 dengan ventilator mode CPAP, FiO2: 30 %, nafas mesin:10, nafas klien: 28 x/mnt, SaO2: 96, bunyi ronchi kasar seluruh area paru.

3. Circulation

TD: 147/86 mmHg, HR: 100 x/mnt, MAP: 94, suhu: 36,5 oC, edema ekstremitas atas dan bawah, capillary refill <>

  1. Pengkajian sekunder

1. Kepala : Mesosefal, tidak ada hematom/luka pada kepala

2. Mata : Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak icterik, pupil isokor 2 mm, tidak ada hematom kelopak mata

3. Hidung : Terpasang NGT, ada lendir kental saat dilakukan isap lendir

4. Telinga : Tampak bersih, tidak ada discharge

5. Leher : Tidak ada pembengkakan kelenjar tiroid, JVP meningkat

6. Thorak :

Paru

Inspeksi : Pengembangan paru simetris kanan dan kiri

Palpasi : Sterm fremitus kanan dan kiri sama

Perkusi : Sonor seluruh lapang pandang paru

Auskultasi : Ronchi terdengar seluruh lapang paru

Jantung

Inspeksi : iktus cordis tak tampak

Palpasi : Iktus kordis teraba pada SIC 5, 2 cm LMCS

Perkusi : Suara pekak, konfigurasi dalam batas normal

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni, gallops (-), murmur (-)

7. Abdomen

Inspeksi : Datar

Auskultasi : Bising usus normal, 15 x/menit

Perkusi : Timpani

Palpasi : Tidak ada pembesaran hepar dan lien

8. Ekstremitas : Edema ekstremitas atas dan bawah

9. Data Penunjang:

a. Laboratorium:

Tanggal 21Juni 2005:

Ø Kultur steril tidak ada kuman

Tanggal 5 Juli 2005:

Ø Kultur darah: ditemukan kuman Stapilokokus Epidedermis

Ø Kultur urin: ditemukan kuman Stapilokokus Aeureus

Ø Kuman resisten terhadap semua Cephalosforin dan Beta Lactam

Ø MRSA dan MRSE

Tanggal 7 Juli 2005

Darah

Ø Hb : 8,7 gr%

Ø Ht : 26,3 %

Ø Eritro : 2,67 jt/mmk

Ø MCH : 32,70 pg

Ø MCV : 98,70

Ø Leuko : 11,0 rb/mmk

Ø Urea : 104 mg/dl

Ø Creatin : 0,99 mg/dl

Ø Na : 130 mmol/L

Ø K : 5,0 mmol/L

Ø Cl : 106 mmol/L

Ø Ca : 2,1 mmol/L

Ø Mg : 0,91 mmol/L

Urin

Ø PH : 6

Ø Prot : 30 mg/dl

Ø Red : negative

Sediment

Ø Ep cell : 7 – 10 LPK

Ø Leuko : 10 – 15 LPB

Ø Eritrosit : 30 – 40 LPB

Ø Ca ox : -

Ø Asam urat : -

Ø Triple phosfat: -

Ø Amorf : -

Ø Sel hialin : -

Ø Sel granula: -

Ø Bakteri : positif

BGA tanggal 5 Juli 2005 jam 09.45 wib

PH : 7,36

PCO2 : 37,4 mmHg

PO2 : 58,6 mmHg

HCO3 : 24,5

BE : 0,7

BE ecf : - 0,5

AaDO2: 143

SaO2 : 93 %

b. Foto Rontgen

CT Scan tanggal 15 Juni 2005

Ø Perdarahan intra serebral region transversal kiri dengan edema

Ø Perdarahan subarachnoid

Ø Subdural higroma region fronto temporal kanan, temporo parietal kiri dan interhemisfer serebri

Foto Thorak 15 Juni 2005

Ø Bronkiektasis kanan dan kiri, gambaran pneumonia

c. Terapi

Program Infus:

Ø Comafusin I

Ø Kalbumin I

Ø Fima Hes I

Ø RL I

Injeksi:

Ø Amikin 1 gr/ 24 jam

Ø Nootrophyl 3 gram /6 jam

Ø Vit C 1 amp / 8 jam

Ø Vit K 1 amp /8 jam

Oral:

Ø Tequien 400 mg tiap 24 jam

Ø Ticlopidin 200 mg / 24 jam

Ø ASA 80 gr / 24 jam

Ø CaCO3 500 mg / 8 jam

Ø Propranolol 10 mg / 8 jam

Repirator

CPAP

FiO2 30 %

II. ANALISA DATA

NO

DATA FOKUS

ETIOLOGI

MASALAH

1

DS:

DO:

Ø Jalan nafas secret kental produktif

Ø Ada reflek batuk bila dilakukan isap lendir

Sumbatan jalan nafas dan kurangnya ventilasi sekunder terhadap retensi lendir

Bersihan jalan nafas tidak efektif

2

DS:

DO:

Ø Ronchi terdengar seluruh lapang paru

Ø Bronkiektasis kanan dan kiri, gambaran pneumonia

Ø BGA tanggal

Akumulasi protein dan cairan dalam interstitial / area alveolar

Gangguan pertukaran gas

3

DS:-

DO:

Ø Terpasang NGT

Ø Klien tidak sadar reflek menelan tidak ada

CT Scan tanggal 15 Juni 2005:

Ø Perdarahan intra serebral region transversal kiri dengan edema

Ø Perdarahan subarachnoid

Ø Subdural higroma regio fronto temporal kanan, temporo parietal kiri dan interhemisfer serebri

Ketidakmampuan menelan

Perubahan pola nutrisi

4

DS:

DO:

Ø Memakai ventilator mode CPAP, FiO2: 30 %, nafas mesin: 10, nafas klien: 28 x/mnt, SaO2: 96.

Penggunaan ventilasi mekanik

Resiko cidera

5

DS:

DO:

Ø Klien tidak sadar

Ø Klien terpasang DC, NGT, Infus

Ø Klien terpasang ET dan ventilator

Ø Leukosit: 11,0 rb/mmk

Ø Gagal Nafas, PSA/SH,

Pemasangan selang ET dengan kondisi lemah

Resiko tinggi terhadap infeksi

6

DS:

DO:

Ø DX Medis: Sepsis, MRSA

Tanggal 5 Juli 2005:

Ø Kultur darah: ditemukan kuman Stapilokokus Epidedermis

Ø Kultur urin: ditemukan kuman Stapilokokus Aeureus

Ø Kuman resisten terhadap semua Cephalosforin dan Beta Lactam

Ø MRSA dan MRSE

Adanya sumber penularan dari kuman stapilokokus

Resiko terhadap penularan lewat udara

III. DIAGNOSA KEPERAWATAN

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sumbatan jalan nafas dan kurangnya ventilasi sekunder terhadap retensi lendir

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan akumulasi protein dan cairan dalam interstitial / area alveolar

c. Perubahan pola makan berhubungan dengan ketidakmampuan menelan

d. Resiko cidera berhubungan dengan penggunaan ventilasi mekanik

e. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemasangan selang ET dengan kondisi lemah

f. Resiko terhadap penularan lewat udara berhubungan dengan adanya sumber penularan dari kuman stapilokokus

IV. RENCANA TINDAKAN

TGL

DP

TUJUAN & KRITERIA HASIL

INTERVENSI

9/7/05

1

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama jalan nafas efektif.

Kriteria hasil:

Ø Bunyi nafas bersih

Ø Secret berkurang atau hilang

Ø Catat karakteristik bunyi nafas

Ø Catat refleks batuk dan lendir yang keluar

Ø Monitor status hidrasi untuk mencegah sekresi kental

Ø Berikan humidifikasi pada jalan nafas

Ø Pertahankan posisi tubuh / kepala dan gunakan ventilator sesuai kebutuhan

Ø Observasi perubahan pola nafas dan upaya bernafas

Ø Berikan cairan garam faaal sesuai indiaksi untuk membuang skresi yang lengket

Ø Berikan O2 sesuai kebutuhan tubuh

Ø Berikan fisioterapi dada

9/7/05

2

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam pertukaran gas adekuat

Criteria hasil:

Ø Perbaikan oksigenasi adekuat: akral hangat, peningkatan kesadaran

Ø BGA dalam batas normal

Ø Bebas distres pernafasan

Ø Kaji status pernafasan

Ø Kaji penyebab adanya penurunan PaO2 atau yang menimbulkan ketidaknyaman dalam pernafasan

Ø Catat adanya sianosis

Ø Observasi kecenderungan hipoksia dan hiperkapnia

Ø Berikan bantuan nafas dengan ventilator mekanik

Ø Kaji seri foto dada

Ø Awasi BGA / saturasi oksigen (SaO2)

9/7/05

3

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam klien mempertahankan kebutuhan nutrisi

Criteria hasil:

Ø Laborat Hb, protein dalam batas normal

Ø Makanan dapat masuk sesuai dietnya

Ø Kaji status gizi klien

Ø Kaji bising usus

Ø Hitung kebutuhan gizi tubuh atau kolaborasi tim gizi

Ø Pertahankan asupan kalori dengan makan per sonde atau nutrisi perenteral sesuai indikasi

Ø Periksa laborat darah rutin dan protein

9/7/05

4

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam klien bebas dari cidera selama ventilasi mekanik

Criteria hasil:

Ø Tidak ada cidera pada pernafasan

Ø Pernafasan klien terkendali normal

Ø Monitor ventilator terhadap peningkatan tajam pada ukuran tekanan

Ø Observasi tanda dan gejala barotrauma

Ø Posisikan selang ventilator untuk mencegah penarikan selang endotrakeal

Ø Kaji panjang selang ET dan catat panjang tiap shift

Ø Berikan antasida dan beta bloker lambung sesuai indikasi

Ø Monitor terhadap distensi abdomen

9/7/05

5

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam infeksi nosokomial dapat terkendali

Criteria hasil:

Ø Tidak ada tanda-tanda infeksi

Ø Leukosit dalam batas normal

Ø Evaluasi warna, jumlah, konsistensi sputum tiap penghisapan

Ø Tampung specimen untuk kultur dan sensitivitas sesuai indikasi

Ø Pertahankan teknik steril bila melakukan penghisapan (pakai sarung tangan steril)

Ø Ganti sirkuit ventilator tiap 72 jam

Ø Lakukan pembersihan oral tiap shift

Ø Monitor tanda vital terhadap infeksi

Ø Pantau keadaan umum

Ø Pantau hasil pemeriksaan laborat untuk kultur dan sensitivitas

Ø Berikan antibiotic amikin 1 gram/ 24 jam

9/7/05

6

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam penularan tidak terjadi

Criteria hasil:

Ø Klien berada di kamar isolasi

Ø Semua bahan dan alat yang dipakai klien ditempatkan tersendiri

Ø Tersedianya baju khusus untuk perawat maupun pengunjung

Ø Pertahankan klien di ruang isolasi

Ø Lakukan pemantauan alat dan bahan yang digunakan klien

Ø Tempatkan tersendiri baju dan alat lain yang sudah dipakai klien

Ø Hindari kontak secara langsung dengan klien dan alat serta bahan yang dipakai klien

Ø Berikan penkes terhadap keluarga maupun pengunjung

Ø Pantau hasil laborat kultur dan sensitivitas, baik darah maupun urin

Ø Pakai sarung tangan, masker, dan jas yang tersedia setiap melakukan tindakan keperawatan

V. IMPLEMENTASI & EVALUASI TANGGAL 9 JULI 2005

TGL

JAM

DP

IMPLEMENTASI & RESPON KLIEN

EVALUASI

TTD

9/7/05

21.00

24.00

05.00

07.00

1

Ø Mencatat karakteristik bunyi nafas

R: ronchi (+) paru kanan dan kiri

Ø Mencatat karakteristik batuk, dan lendir

R: reflek batuk (+) bila isap lendir, lendir keluar

Ø Memberikan cairan garam faal sesuai indiaksi untuk membuang sekresi yang lengket

R: lendir dapat keluar lebih encer

Ø Memberikan humidifikasi pada jalan nafas

R: aguades masuk kedalam penampung sesuai level

Ø Mempertahankan posisi tubuh/kepala dan gunakan ventilator sesuai kebutuhan

R: posisi kepala tempat tidur tetap elevasi 300

Ø Mengobservasi perubahan pola nafas dan upaya bernafas

R: pola nafas memakai mode CPAP, F: 12, klien 14 x/mnt, FiO2 30%

Ø Memberikan fisioterapi dada

R: fisioterapi dada sudah dilakukan klien batuk-batuk

Ø Memonitor status hidrasi untuk mencegah sekresi kental

R: BC + 107, turgor baik

10/7/05 jam 07.00 WIB

S: -

O:

Ø Ronchi (+)

Ø Lendir keluar lebih encer

Ø Posisi elevasi 300

A:

Ø Masalah teratasi sebagian

P:

Ø Lanjutkan intervensi sebelumnya


9/7/05

21.00

24.00

05.00

07.00

2

Ø Mengkaji status pernafasan

R: memakai mode CPAP, F: 12, klien 14 x/mnt, FiO2 30%

Ø Mengkaji penyebab adanya penurunan PaO2

R: adanya gangguan ventilasi dan perfusi paru

Ø Mencatat adanya sianosis

R: tidak ada sianosis

Ø Mengobservasi kecenderungan hipoksia dan hiperkapnia

R: SaO2 96%, BGA: dalam batas normal

Ø Mempertahankan bantuan nafas dengan ventilator mekanik

R: ventilator terpasang sesuai kebutuhan klien

10/7/05 jam 07.00 WIB

S: -

O:

Ø Respirasi dengan vent.mode CPAP, FiO2 30 %

Ø Tidak ada sianosis

A:

Ø Masalah teratasi sebagian

P:

Ø Lanjutkan intervensi sebelumnya


9/7/05

21.00

24.00

05.00

07.00

3

Ø Mengkaji kebutuhan gizi klien

R: 1400 kkal, 60 gr protein

Ø Mengkaji bising usus klien

R: BU normal, 20 x/mnt, residu negatif

Ø Mempertahankan asupan kalori dengan makan per sonde atau nutrisi perenteral sesuai indikasi

R: diet masuk, residu negative, tidak ada muntah

Ø Memantau hasil darah rutin dan protein

R: Hb 10,3 gr%, Albumin: 2,8 mg/dl

10/7/05 jam 07.00 WIB

S: -

O:

Ø Diit masuk

Ø Tidak ada muntah

Ø Residu negative

Ø BU 20 x/mnt

A:Masalah teratasi sebagian

P:Lanjutkan intervensi sebelumnya


9/7/05

21.00

24.00

05.00

07.00

4

Ø Memonitor ventilator terhadap peningkatan tajam pada ukuran tekanan

R: tidak ada peningkatan tekanan yang tajam

Ø Mengobservasi tanda dan gejala barotrauma

R: tidak ada tanda dan gejala barotrauma

Ø Memposisikan selang ventilator untuk mencegah penarikan selang endotrakeal

R: sirkuit letak lebih rendah dari ET, plester terpasang kuat, balon ET terisi cukup

Ø Mengkaji panjang selang ET dan catat panjang

R: ET posisi tetap pada angka 21, paru kanan dan kiri terdengar sama

Ø Memberikan antasida dan beta bloker lambung sesuai indikasi

R: sukralfat 500 mg sudah masuk

Ø Memonitor terhadap distensi abdomen

R: tidak ada distensi abdomen

10/7/05 jam 07.00 WIB

S: -

O:

Ø Tidak ada peningkatan tekanan yang tajam

Ø Tidak ada barotrauma

Ø ET terpasang tetap

A:

Ø Masalah teratasi sebagian

P:

Ø Lanjutkan intervensi sebelumnya


9/7/05

21.00

24.00

05.00

07.00

5

Ø Mengevaluasi warna, jumlah, konsistensi sputum tiap penghisapan

R: warna putih, lendir keluar 5 cc an

Ø Menampung specimen untuk kultur dan sensitivitas sesuai indikasi

Ø Mempertahanakan teknik steril bila melakukan penghisapan (pakai sarung tangan steril)

R: sudah memakai sarung tangan dan masker tiap melakukan tindakan

Ø Memberikan injeksi antibiotic Amikin 1 gr

R: obat masuk tidak ada alergi

Ø Melakukan pembersihan oral

R: mulut klien tampak bersih

Ø Memantau keadaan umum

R: KU lemah, kesadaran sopor

Ø Memantau hasil pemeriksaan laborat untuk kultur dan sensitivitas

R: kultur ada kuman stapilokokus (MRSA & MRSE)

Ø Memonitor tanda vital terhadap infeksi

R: TD: 112/63 mmHg, MAP: 75, HR: 83 x/mnt, suhu: 36,8 0C

10/7/05 jam 07.00 WIB

S: -

O:

Ø Lendir dapat keluar

Ø Teknik steril dilakukan

Ø Tanda vital dalam batas normal

Ø Kultur MRSA & MRSE

A:

Ø Masalah teratasi sebagian

P:

Ø Lanjutkan intervensi sebelumnya


9/7/05

21.00

24.00

07.00

6

Ø Mempertahankan klien di ruang isolasi

R: klien tetap di ruang tersendiri dan kamar tertutup

Ø Melakukan pemantauan alat dan bahan yang digunakan klien

R: tempat yang tersedia sudah digunakan

Ø Menempatkan tersendiri baju dan alat lain yang sudah dipakai klien

R: alat dan bahan dimasukkan dalam bak khusus

Ø Menghindari kontak secara langsung dengan klien dan alat serta bahan yang dipakai klien

R: sudah memakai masker, sarung tangan dan jas setiap melakukan tindakan

Ø Memberikan penkes terhadap keluarga maupun pengunjung

R: keluarga dapat memahami dan setuju.

Ø Memantau hasil laborat kultur dan sensitivitas, baik darah maupun urin

R: kultur ditemukan adanya kuman stapilokokus (MRSA & MRSE)

Ø Memakai sarung tangan, masker, dan jas yang tersedia setiap melakukan tindakan keperawatan

R: sudah dilakukan perawat jaga ruang isolasi

10/7/05 jam 07.00 WIB

S: -

O:

Ø Klien dirawat di ruang isolasi

Ø Bahan dan alat disendirikan

Ø Masker, jas, sarung tangn dipakai setiap tindakan

Ø Keluarga dapat mengerti dan mengangguk

Ø Kultur MRSA & MRSE

A:

Ø Masalah teratasi sebagian

P:

Ø Lanjutkan intervensi sebelumnya


VII. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI TANGGAL 10 JULI 2005

TGL

JAM

DP

IMPLEMENTASI & RESPON KLIEN

EVALUASI

TTD

10/7/05

21.00

24.00

05.00

07.00

1

Ø Mencatat karakteristik bunyi nafas

R: ronchi (+) paru kanan dan kiri

Ø Mencatat karakteristik batuk, dan lendir

R: reflek batuk (+) bila isap lendir, lendir keluar

Ø Memberikan cairan garam faal sesuai indiaksi untuk membuang skresi yang lengket

R: lendir dapat keluar lebih encer

Ø Memberikan humidifikasi pada jalan nafas

R: aguades masuk kedalam penampung sesuai level

Ø Mempertahankan posisi tubuh/kepala dan gunakan ventilator sesuai kebutuhan

R: posisi kepala tempat tidur tetap elevasi 300

Ø Mengobservasi perubahan pola nafas dan upaya bernafas

R: pola nafas memakai mode CPAP, F: 12, klien 14 x/mnt, FiO2 30%

Ø Memberikan fisioterapi dada

R: fisioterapi dada sudah dilakukan klien batuk-batuk

Ø Memonitor status hidrasi untuk mencegah sekresi kental

R: BC + 107, turgor baik

11/7/05 jam 07.00 WIB

S: -

O:

Ø Ronchi (+)

Ø Lendir keluar lebih encer

Ø Posisi elevasi 300

A:

Ø Masalah teratasi sebagian

P:

Ø Lanjutkan intervensi sebelumnya


10/7/05

21.00

24.00

05.00

07.00

2

Ø Mengkaji status pernafasan

R: memakai mode CPAP, F: 12, klien 14 x/mnt, FiO2 30%

Ø Mengkaji penyebab adanya penurunan PaO2

R: adanya gangguan ventilasi dan perfusi paru

Ø Mencatat adanya sianosis

R: tidak ada sianosis

Ø Mengobservasi kecenderungan hipoksia dan hiperkapnia

R: SaO2 96%, BGA: dalam batas normal

Ø Mempertahankan bantuan nafas dengan ventilator mekanik

R: ventilator terpasang sesuai kebutuhan klien

11/7/05 jam 07.00 WIB

S: -

O:

Ø Respirasi dengan vent.mode CPAP, FiO2 30 %

Ø Tidak ada sianosis

A: Masalah teratasi sebagian

P: Lanjutkan intervensi sebelumnya


10/7/05

21.00

24.00

05.00

07.00

3

Ø Mengkaji kebutuhan gizi klien

R: 1400 kkal, 60 gr protein

Ø Mengkaji bising usus klien

R: BU normal, 20 x/mnt, residu negatif

Ø Mempertahankan asupan kalori dengan makan per sonde atau nutrisi perenteral sesuai indikasi

R: diet masuk, residu negative, tidak ada muntah

Ø Memantau hasil darah rutin dan protein

R: Hb 10,3 gr%, Albumin: 2,8 mg/dl

11/7/05 jam 07.00 WIB

S: -

O:

Ø Diit masuk

Ø Tidak ada muntah

Ø Residu negative

Ø BU 20 x/mnt

A: Masalah teratasi sebagian

P: Lanjutkan intervensi sebelumnya


10/7/05

21.00

24.00

05.00

07.00

4

Ø Memonitor ventilator terhadap peningkatan tajam pada ukuran tekanan

R: tidak ada peningkatan tekanan yang tajam

Ø Mengobservasi tanda dan gejala barotrauma

R: tidak ada tanda dan gejala barotrauma

Ø Memposisikan selang ventilator untuk mencegah penarikan selang endotrakeal

R: sirkuit letak lebih rendah dari ET, plester terpasang kuat, balon ET terisi cukup

Ø Mengkaji panjang selang ET dan catat panjang

R: ET posisi tetap pada angka 21, paru kanan dan kiri terdengar sama

Ø Memberikan antasida dan beta bloker lambung sesuai indikasi

R: sukralfat 500 mg sudah masuk

Ø Memonitor terhadap distensi abdomen

R: tidak ada distensi abdomen

11/7/05 jam 07.00 WIB

S: -

O:

Ø Tidak ada peningkatan tekanan yang tajam

Ø Tidak ada barotrauma

Ø ET terpasang tetap

A:

Ø Masalah teratasi sebagian

P:

Ø Lanjutkan intervensi sebelumnya


10/7/05

21.00

24.00

05.00

07.00

5

Ø Mengevaluasi warna, jumlah, konsistensi sputum tiap penghisapan

R: warna putih, lendir keluar 5 cc an

Ø Menampung specimen untuk kultur dan sensitivitas sesuai indikasi

Ø Mempertahanakan teknik steril bila melakukan penghisapan (pakai sarung tangan steril)

R: sudah memakai sarung tangan dan masker tiap melakukan tindakan

Ø Memberikan injeksi antibiotic Amikin 1 gr

R: obat masuk tidak ada alergi

Ø Melakukan pembersihan oral

R: mulut klien tampak bersih

Ø Memantau keadaan umum

R: KU lemah, kesadaran sopor

Ø Memantau hasil pemeriksaan laborat untuk kultur dan sensitivitas

R: kultur ada kuman stapilokokus (MRSA & MRSE)

Ø Memonitor tanda vital terhadap infeksi

R: TD: 112/63 mmHg, MAP: 75, HR: 83 x/mnt, suhu: 36,8 0C

11/7/05 jam 07.00 WIB

S: -

O:

Ø Lendir dapat keluar

Ø Teknik steril dilakukan

Ø Tanda vital dalam batas normal

Ø Kultur MRSA & MRSE

A:

Ø Masalah teratasi sebagian

P:

Ø Lanjutkan intervensi sebelumnya


10/7/05

21.00

24.00

07.00

6

Ø Mempertahankan klien di ruang isolasi

R: klien tetap di ruang tersendiri dan kamar tertutup

Ø Melakukan pemantauan alat dan bahan yang digunakan klien

R: tempat yang tersedia sudah digunakan

Ø Menempatkan tersendiri baju dan alat lain yang sudah dipakai klien

R: alat dan bahan dimasukkan dalam bak khusus

Ø Menghindari kontak secara langsung dengan klien dan alat serta bahan yang dipakai klien

R: sudah memakai masker, sarung tangan dan jas setiap melakukan tindakan

Ø Memberikan penkes terhadap keluarga maupun pengunjung

R: keluarga dapat memahami dan setuju.

Ø Memantau hasil laborat kultur dan sensitivitas, baik darah maupun urin

R: kultur ditemukan adanya kuman stapilokokus (MRSA & MRSE)

Ø Memakai sarung tangan, masker, dan jas yang tersedia setiap melakukan tindakan keperawatan

R: sudah dilakukan perawat jaga ruang isolasi

11/7/05 jam 07.00 WIB

S: -

O:

Ø Klien dirawat di ruang isolasi

Ø Bahan dan alat disendirikan

Ø Masker, jas, sarung tangn dipakai setiap tindakan

Ø Keluarga dapat mengerti dan mengangguk

Ø Kultur MRSA & MRSE

A:

Ø Masalah teratasi sebagian

P:

Ø Lanjutkan intervensi sebelumnya